Swag Couple Series [#26 Sorry]

ohnajla || romance, schoollife || Teen || chaptered

Min Yoonji (OC) aka Yoongi lil sister

Park Jimin BTS 

Min Yoongi aka Suga BTS 

Jeon Jungkook BTS

other cameo

**

Intro Boy ver | Intro Girl ver | Want You More

Don’t Mess With Me | Oppa | Nobody Like You

Punishment | Bad But Sweet | Who Are You (1)

Pick Me (1) (2) (3)Who Are You (2) | Chatroom (1) (2) (3)

April Fools’ | Oppa (2)  | Park Jimin  | Date

Dream I Need U  | When You’re Gone

War of Hormones | Min Yoonji

Paginya, Yoonji bangun dalam kondisi tidak fit. Kepalanya terasa pening dan dia bisa merasakan sendiri kalau suhu tubuhnya cukup tinggi. Namun meski begitu, dia tetap memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur dan bersiap sekolah karena dia membawa jawaban tugas matematika kelompok 1. Dengan langkah gontai, ia pun beranjak menuju kamar mandi melalui pintu mint.

“Yoonji-a! Bangun!”

Ne,” balasnya tepat setelah membuka pintu.

Dia pun menyeret kedua kakinya menuju kamar mandi yang hanya berjarak beberapa langkah saja dari kamarnya.

“Kemarin pulang jam berapa?”

Pertanyaan sang ibu sukses membuat Yoonji batal membuka pintu kamar mandi. Seluruh atensinya dicurahkan pada wanita tersebut. “Ah … kemarin ada tugas kelompok yang harus diselesaikan jadi terpaksa pulang tengah malam.”

“Kenapa tidak menyuruh Jimin masuk?”

Kedua mata Yoonji yang semula masih setengah terbuka, mendadak membelalak kedua-duanya. “Jimin?”

“Hm. Eomma dan ayahmu datang pukul empat, dan kami bertemu dengan Jimin di depan rumah. Kasihan sekali dia sampai ketiduran di luar, kenapa tidak disuruh masuk?”

Pernyataan itu berhasil membuat Yoonji tidak jadi masuk kamar mandi. Dia malah berlarian menghampiri eomma-nya untuk mendengar penjelasan lebih lanjut.

“Lalu bagaimana? Eomma menyuruhnya masuk?”

Wanita berkulit putih pucat itu mengangguk. “Tapi dia menolak dan malah pulang. Kalian sedang bertengkar?”

Yoonji dengan cepat menggeleng. “Aniyo, kami … baik-baik saja.”

Sambil memotong sayuran, Nyonya Min sesekali memperhatikan rupa anak termudanya. “Kalau kau sedang tidak enak badan, tidak usah memaksakan diri masuk sekolah.”

“Aku baik-baik saja,” dusta Yoonji sambil menelan ludah susah payah.

Arasseo. Biar ayahmu yang mengantar. Hari ini kami tidak ada jadwal apa pun. Ya sudah, cepat bersiap dan setelah itu sarapan.”

Yoonji menatap sang ibu sekilas sebelum beranjak memasuki kamar mandi.

Untuk pertama kalinya, Yoonji berangkat sekolah diantar sang ayah. Tidak seperti saat naik taksi. Dia kini duduk di kursi depan, tepat di sebelah ayahnya. Hanya keheningan yang ada di mobil itu, lebih tepatnya semua ini berdasarkan rasa canggung.

Sekalipun Yoonji tidak pernah mengobrol satu lawan satu dengan ayahnya.

Sejak tadi dia hanya mencekal erat sabuk pengamannya sambil menoleh ke sana kemari melihat jalan. Sementara pikirannya sedang sibuk terbang pada Park Jimin.

Jadi kemarin dia tidak langsung pulang? Kalau begitu seharusnya dia memberitahuku, setidaknya aku akan membiarkannya masuk dan tidur di depan TV. Kenapa sih dia melakukan itu? Menyusahkan saja.

“Jimin tidak pernah melakukan hal yang tidak-tidak padamu, ‘kan?”

Suara berat seseorang di sampingnya lantas menarik seluruh perhatian Yoonji. Gadis itu menoleh, hanya sekilas, sebelum menatap lurus pada traffic light di depan. “Ne.”

Jeda hening sejenak.

“Kau boleh menyukainya tapi jangan sampai melangkah terlalu jauh. Meskipun Jimin adalah tipe pria baik-baik, kau tetap harus berhati-hati. Hormon lelaki seusianya masih belum bisa terkendali.”

Yoonji tertegun. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah dia dengar dari sang ayah. Meski … kedengaran kaku sekali seperti guru ke murid. Walau begitu, Yoonji bisa merasakan ketulusan dan kasih sayang dari ucapan pria tersebut.

Orangtuanya ternyata sangat peka dan peduli.

Tanpa sadar bibirnya membentuk kurva tipis.

Begitu mobil yang dikemudikan ayahnya sampai di depan gerbang sekolah, Yoonji pun segera melepas sabuk pengamannya. Namun sang ayah tiba-tiba saja mengambil alih tugas itu, padahal Yoonji bisa melepasnya sendiri. Gadis itu termangu, lantas kesadarannya kembali begitu Tuan Min juga membukakan pintu dari dalam.

“Belajarlah yang rajin,” ucap pria itu masih dengan aksen yang kaku dan dingin.

Yoonji entah bagaimana ingin sekali menangis. Dia yang tak mampu menahan diri pun menghambur ke pelukan sang ayah. Dia merengkuh sang ayah erat sekali sambil menumpahkan semua air mata yang tertahan. Tuan Min yang terkejut dengan sikap Yoonji pun termenung sesaat sebelum tersenyum dan balas memeluk anak gadisnya. Ia bahkan mencium puncak kepala Yoonji. Rasa-rasanya Tuan Min juga ingin menangis mengingat jarang sekali mereka terlibat interaksi seperti ini selama 17 tahun Yoonji hidup. Kesibukan karena pekerjaannyalah yang membuat mereka tidak pernah saling berinteraksi selayaknya ayah dan anak perempuan.

Namun Yoonji masih enggan memberitahu sang ayah perihal Park Jimin kemarin. Sekarang masih belum saatnya.

Yaa. Kau menangis semalaman?”

Yoonji yang sedang dalam perjalanan menuju kelas pun lantas menoleh ke asal suara. Jeon Jungkook. Memangnya siapa lagi pemilik suara indah itu kalau bukan Jungkook? Dan siapa lagi yang tahu perihal Yoonji menangis selain dia?

Lelaki itu sudah berjalan di sampingnya.

“Tidak.”

“Tapi kau kelihatan seperti baru menangis.”

Eo. Aku memang baru menangis, tapi bukan karena Jimin.”

“Ah … begitu ya.”

Setiap kali Yoonji mengobrol dengan Jungkook, ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya dia tidak perlu bingung menjawab karena ditanyai macam-macam. Jungkook adalah tipe yang tidak suka mencampuri urusan orang lain.

“Ngomong-ngomong, hari ini Jimin izin tidak masuk.”

Sontak Yoonji pun menoleh. “Mwo? Kenapa?” Apa jangan-jangan karena ketiduran diluar kemarin?

“Jihyun bilang Jimin terkena demam.”

Yoonji menghela napas. Benar, Jimin sakit pasti karena ketiduran diluar kemarin. Dirinya merasa bersalah. Bukan ini yang dia mau, dia ingin menghukum Jimin tapi bukan dengan cara ini. Yoonji hanya tidak tega mendengar Jimin sakit.

“Sepulang sekolah mau ikut aku menjenguknya?”

Gadis itu kembali menoleh. “Bolehkah?”

“Tentu. Kalau aku mengajakmu itu berarti kau boleh ikut. Hitung-hitung melihat rumahnya. Kau belum pernah mengunjungi rumahnya ‘kan?”

Benar juga, pikir Yoonji. Lantas gadis itu pun mengangguk setuju.

“Jimin-a, makan dulu.”

“Nanti.”

“Ini sudah hampir sore, kau belum makan apa-apa sejak pagi.”

“Aku masih belum selera.”

“Nanti demammu akan tambah parah.”

“Nanti saja.”

Nyonya Park pun mengalah. Wanita itu pun membenahi letak selimut Jimin sebelum beranjak keluar dari kamar putra sulungnya. Sebelum itu ia menyimpan makanan Jimin di atas nakas.

Begitu sang ibu keluar, Jimin pun menyembulkan kepalanya dari balik selimut. Kedua pipinya tampak memerah dengan bibir pucat. Kelihatan sekali kalau dia tidak baik-baik saja dilihat dari matanya yang sayu.

Kepalanya menoleh ke sisi kiri tempat tidurnya. Tempat di mana sang ibu menyimpan makanannya.

Lagi-lagi bubur dan susu.

Ia mendesah. Selera makannya makin hilang gara-gara dua menu itu. Sungguh, dia rasanya malah mual melihat dua jenis hidangan tersebut. Kenapa ibunya tidak memberikannya makanan seperti biasa? Sejak tadi lidahnya terasa pahit, itulah kenapa dia enggan memasukkan makanan barang sesendok pun.

Di saat dia akan kembali tidur, pintu kembali dibuka, dan terdengarlah suara ibunya.

“Jimin-a—”

“Aku belum lapar,” balas Jimin sambil menyembunyikan kepalanya di balik selimut.

“Kau yakin tidak akan lapar kalau aku membawakanmu ayam goreng?”

Mendengar suara yang familiar di telinga, Jimin pun cepat-cepat menyibakkan selimutnya. Matanya yang kecil itu kelihatan sekali kalau dipaksa terbuka lebar.

“Jungkook-a….

“Yo man! Jangan bergaya sok tidak napsu makan. Aku membawakanmu ayam dari restoran nyonya besar.” Seseorang yang datang bersama ibunya, Jeon Jungkook, melangkah dengan riang menghampiri tempat tidurnya sambil membawa sekotak ayam goreng. Seperti biasa, dia tampak ceria dengan gigi kelincinya.

Namun atensi Jimin sama sekali tidak beranjak dari sang ibu. Ah tidak, maksudnya dari seseorang yang sedang berbincang dengan ibunya sebelum ibunya keluar dari kamar. Kini orang itu berjalan menghampirinya dengan tanpa sedikitpun menatap yang lain.

Begitu sadar, Jimin tiba-tiba mengucek kedua matanya, lalu menarik-narik tangan Jungkook –yang sibuk makan untuk memperhatikannya.

Mwo?

“I-itu, k-kau melihatnya? Dia bukan hantu ‘kan?”

Jungkook lantas menoleh ke arah yang ditunjuk Jimin. Bukannya meladeni kata-kata Jimin, dia justru menarik sebuah kursi dengan tiga roda di bagian kakinya dan menyuruh Yoonji duduk di sana dengan isyarat dagu. Yoonji hanya menurut dan segera duduk setelah menyimpan buah-buahan yang dia beli di lantai dekat nakas.

Jungkook menyadari rok Yoonji yang semula sepanjang lutut tertarik ke atas sampai memperlihatkan paha mulusnya. Tanpa bicara apa pun dia melepas blazer-nya kemudian menyampirkannya di paha Yoonji. Ketika Yoonji menatapnya terkesima begitu juga Jimin, dia malah berlagak sok tidak tahu dan kembali menyantap ayam goreng yang dibawanya dari restoran sang ibu.

Yoonji pun akhirnya berdehem. Kemudian dia menoleh pada seseorang yang menjadi tujuannya kemari.

“Ibumu bilang kau belum makan apa-apa sejak pagi.”

Mendengar suara indah sang kekasih, dalam hitungan sepersekon Jimin pun menoleh. Andaikata kemarin dia tidak bertindak bodoh, mungkin sekarang dia akan bersikap sangat manja pada gadis ini. Sayang sekali, dia terlalu takut untuk menyentuh Yoonji. Dia takut jika Yoonji akan menangis lagi seperti kemarin.

“Aku hanya belum lapar,” jawabnya sambil mengusap tengkuk.

PAK!

Tahu-tahu Yoonji memukul punggung Jungkook dengan begitu keras. “Yaa! Kau bilang itu untuk Jimin, kenapa malah kau habiskan sendiri?!”

“Akh! Memangnya kenapa?! Toh ini dari restoran ibuku!”

PAK! PAK! PAK!

“Kau tadi sudah makan di sana, bodoh. Kemarikan.”

Di saat Jungkook sibuk meratapi nasib punggungnya, Yoonji menggunakan kesempatan itu untuk meraih kotak ayam yang isinya masih sisa setengah. Dia memilah-milah daging ayam di dalam kotak itu sebelum mengarahkannya pada Jimin.

“Makanlah.”

Jimin yang sejak tadi hanya diam menonton keakraban Yoonji dengan karibnya lantas menoleh. Dia memperhatikan Yoonji dan daging ayam itu secara bergantian. Entah kenapa, setiap kali dia melihat Yoonji dia selalu mengingat insiden kemarin. Oke, dia menyesal. Sangat menyesal sekali. Ia pun mengalihkan pandangan karena merasa tak pantas jika harus menatap Yoonji terus menerus. Sementara tangannya meraih daging ayam dari tangan sang kekasih.

Masih merasakan panas di punggung, Jungkook melihat semua itu. Dia tahu, pasti ada sesuatu yang terjadi antara Jimin dan Yoonji di hari kemarin. Dia tak bisa menebak sesuatu apa itu karena dua orang di depannya tak ada yang memberitahu juga dia yang tidak mau tahu. Yang pasti, Jungkook tahu kalau Jimin tengah dirundung rasa penuh penyesalan, sementara Yoonji tampak berusaha terlihat seolah tidak ada apa-apa dengan Jimin.

Dua manusia yang sangat menggemaskan.

“Aku membawakanmu apel,” ucap Yoonji yang spontan memecah keheningan di ruangan itu. Dia buru-buru menyimpan kotak ayam di atas ranjang sebelum meraih kantung plastik hitam yang tadi dia simpan di bawah. “Ah … sepertinya aku butuh pisau. Akan ku—”

“Biar aku yang mengambil pisaunya,” sahut Jungkook yang di detik itu juga langsung bangkit dan melesat pergi keluar dari kamar, seolah dia tak menerima penolakan dari Yoonji.

“—cucikan apelnya.” Kalimat itu terlontar dari bibir tipis Yoonji tepat saat pintu kamar ditutup. Dia pun mendengus.

Jimin sendiri tersenyum geli.

Kembali mereka terjebak dalam keheningan.

Jimin sibuk makan.

Yoonji pura-pura sibuk memilih apel.

Entah kenapa Jungkook begitu lama. Leher Yoonji sampai pegal karena terlalu lama menunduk melihat-lihat apel di dalam kantung plastik. Dia mencoba terus bertahan di posisi seperti itu namun tak bisa. Akhirnya dia menyerah dan mengangkat wajahnya.

Tepat di detik itu dia mendapati Jimin sudah di depan mata. Duduk menghadap dirinya, sepenuhnya.

Keterkejutannya tidak berhenti sampai di situ. Tiba-tiba saja Jimin menarik kursi itu hingga dia bisa merasakan lututnya yang membentur tepi ranjang. Sementara Jimin menyimpan kedua tangannya di lengan kursi, mengungkung Yoonji seutuhnya.

Yoonji menelan ludah susah payah.

Dia berusaha menjauhi wajah Jimin yang terlalu dekat dari wajahnya dengan mendorong punggungnya ke belakang. Tapi sayang, ada tas yang membuat dia tidak bisa bergerak mundur barang seinchi-pun. Dalam hati dia hanya bisa mengumpat akan kebodohannya. Sementara itu dia terus membalas tatapan Jimin.

Jimin sendiri menyadari tatapan curiga dari mata sipit Yoonji. Dia tersenyum sendu. “Aku hanya ingin meminta maaf, Yoonji-a.”

Yoonji masih bergeming di tempat.

Jimin menghela napas lantas menunduk. “Maaf sudah bertindak seperti itu padamu. Kurasa aku juga harus minta maaf pada Yoongi hyung dan kedua orangtuamu. Aku sungguh bukan kekasih yang baik. Menjagamu dariku saja tidak bisa bagaimana jika aku menjagamu dari yang lain. Aku akan terima semua hukuman darimu, Yoonji-a. Kalau kau ingin membuangku pun … aku terima. Toh, aku memang pantas menerima itu.”

Keheningan kembali menyelimuti. Si gadis tetap diam di tempat seolah dia bukanlah makhluk hidup. Mata kecilnya bergerak-gerak dinamis sambil mengamati Jimin yang perlahan membuat jarak darinya.

Jujur, rasa sayang itu masih ada di dalam hati Yoonji. Meskipun tindakan Jimin sama sekali tidak termaafkan, tapi membuang lelaki yang telah mengisi hatinya selama ini … ia rasa itu terlalu berlebihan. Sebut saja Yoonji adalah gadis manja yang selalu ingin dilindungi oleh orang lain. Setelah kepergian Yoongi, haruskah dia juga kehilangan Jimin? Dia terlalu takut bertahan hidup di dunia ini sendiri tanpa berdiri di belakang punggung seseorang. Setidaknya dia masih memiliki Jimin meski Yoongi sudah jauh di negeri orang. Jadi….

Shireo. Aku tidak mau kehilanganmu.”

Jimin yang sejak tadi menunduk pun langsung mengangkat dagu. “Ye?

Giliran Yoonji yang menunduk. “Aku bicara begitu bukan berarti aku memaafkanmu. Aku tidak akan pernah memaafkanmu kalau kau hanya meminta maaf dengan mulutmu saja. Aku akan memaafkanmu, jika kau merealisasikannya dengan tindakan. Membuangmu akan sama saja dengan aku membiarkanmu menjadi pecundang yang lari dari tanggung jawab. Bukannya kau sendiri yang bilang kalau kau akan mempertanggungjawabkan tindakanmu? Kalau begitu sudah jelas ‘kan?” Perlahan Yoonji pun mengangkat dagunya, menatap lurus pada sang kekasih. “Tunjukkan kalau kau merasa bersalah padaku, Park Jimin.”

“Yoonji-a….”

Yoonji mengangguk. “Kekasihku hanya Park Jimin dan selamanya hanya Park Jimin.”

.

.

Cklek.

“Ah maaf, tadi aku—”

Jungkook urung melanjutkan kata-katanya begitu mendapati Jimin dan Yoonji yang sudah lelap di satu ranjang yang sama. Keduanya saling berhadap-hadapan, namun tidak saling menyentuh satu sama lain. Yoonji tampak hangat di balik selimut, sementara Jimin meringkuk layaknya embrio karena kedinginan.

Dia yang menonton pemandangan itu hanya bisa menggeleng pelan. Sebegitu lamakah dia di toilet sampai-sampai dua sejoli itu sudah tidur duluan. Yah … sebenarnya dia memang sengaja keluar untuk membiarkan mereka bicara berdua. Awalnya dia iseng mengulur waktu sambil mengobrol dengan Jihyun, adik Jimin. Tapi tiba-tiba saja perutnya sakit dan beginilah, tahu-tahu sudah sejam lebih dia meninggalkan dua kawannya ini.

Tapi tak mengapa. Dia tidak menyesal. Justru inilah yang dia tunggu.

Sambil mengendap-endap, dia pun mengambil tasnya yang ada di dekat kaki ranjang lalu keluar dari ruangan itu. Sebelum dia benar-benar keluar, ia menyempatkan diri melihat sejoli di sana. Senyum pun terbentuk di wajahnya sebelum pintu benar-benar tertutup.

TBC

2 thoughts on “Swag Couple Series [#26 Sorry]

  1. ah gemes sama couple ini huhuhu emang jimin nya ngapain yoonji ??? -,- sampe nangis gitu aduh chim km jangan gitu dong sama yoonji
    ah iya reader baru salken hehehe ijin baca ya :))

    Liked by 1 person

  2. “kekasihku hanya park jimin dan selamanaya hanya park jimin, kata2 yoonji bikin jimin tenanga, walaupun kesalahan jimin tak termaafkan, buktikan jimin kalau kau benar2 menyesal telah melakukan tindakan itu….

    Like

Leave a comment